Siapakah Indonesia? itulah kata kata yang berkesan dalam yang sering kita lihat di TV di Indonesia. Indonesia adalah negara dengan beragam suku, budaya, etnis dan agama. Namun perbedaan ini tidak menjadi masalah karena kita hidup dalam satu negara yaitu Indonesia. Setiap warga negara memiliki andil terhadap perkembangan negara kita. Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa kita masih membeda-bedakan antara satu dengan lainnya. Pada tahun 90an, pernah terjadi kisah pilu bagi keturunan etnis Tionghoa. Sejarah kelam ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan antara mereka yang menyebut diri sebagai pribumi dengan rakyat keturunan etnis Tionghoa.
Padahal, jika kita mau membuka mata, sebenarnya ada banyak orang Tionghoa yang berjasa untuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, bangsa Tiongkok pertama kali menjalin hubungan dengan pribumi lewat perdagangan. Seiring dengan berjalannya waktu, banyak dari mereka yang menikahi warga pribumi dan mendapatkan keturunan sehingga akhirnya menetap di Tanah Air. Setelah menjadi warga negara Indonesia, tak sedikit dari mereka yang menjelma menjadi seorang tokoh nasional. Banyak di antaranya yang ikut serta mendirikan negara Republik Indonesia, walaupun tak banyak yang mengenalnya. Berikut orang berdarah Tionghoa yang berjasa besar bagi Indonesia
Soe Hok Gie
Soe Hok Gie via giribig.com |
siapa tidak kenal dengan nama Soe Hok Gie. Pada masanya, ia adalah sosok yang aktivis mahasiswa yang menggagaskan perubahan. Ia memang tidak memimpin secara langsung, tapi, ide-ide yang ia tuliskan mengonsepkan perubahan yang akhirnya dijadikan aksi nyata. Sampai tahun 1966, dengan aksi nyata dan tulisannya ia mendorong perubahan sosial dan politik di Indonesia. Selama masih menjadi mahasiswa, ia aktif memprotes Soekarno dan PKI. Ia juga merupakan penulis yang produktif dengan berbagai artikel yang diterbitkan di koran-koran seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Gie termasuk sosok yang memiliki andil besar dalam pembentukan sistem pemerintahan Orde Baru yang menggantikan Orde Lama.
Sejak masih SMP, ia sudah menulis buku catatan harian untuk menumpahkan perasaan dan apa yang ia pikirkan di sana. Semakin besar, ia semakin berani melawan ketidak adilan hingga berdebat dengan guru SMP-nya. Dalam catatannya, ia menulis, “Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.” Sikapnya kritis semakin tumbuh dan berkembang hingga ia berani mengungkit soal kemiskinan dan kemapanan orang-orang kaya. Soe yang saat itu melihat seorang pengemis makan kulit mangga memberikan uangnya yang hanya 2,50 rupiah pada si pengemis. Ia menulis, “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, ‘paduka’ kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang malang”
Soe merasa resah ketika keadaan ekonomi semakin kacau dan rakyat jatuh miskin. Ia berpendapat bahwa ketika rakyat terlalu melarat, maka secara natural rakyat akan bergerak sendiri. Jika hal tersebut terjadi, maka akan terjadi chaos atau kekacauan. Maka lebih baik mahasiswa yang bergerak, dan dari sana lahirlah sang demonstran. Kesehariaanya diisi dengan demonstrasi dan rapat penting. Ia ingin para mahasiswa sadar bahwa mereka adalah the happy selected few yang bisa kuliah. Untuk itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsa. Sementara itu, ia juga ingin menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka bisa mengharapkan perbaikan keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan para patriot Universitas. Sayangnya, seorang pemikir muda yang juga inspirasi lahirnya Orde Baru ini harus meninggal sehari sebelum ia berusia 27 tahun setelah pergi mendaki gunung Semeru. Ia meninggal karena menghirup gas beracun di puncak Mahameru dan meninggalkan ide-ide tentang perubahan lewat karya-karyanya.
Tony Wen
Tony Wen via historia.id |
Tony Wen sebenarnya adalah sosok yang begitu gemar berolahraga. Bahkan setelah lulus dari U Ciang University, Singapura dan Liang Nam University, Canton, ia mengajar menjadi seorang guru olahraga di Jakarta. Ia juga ikut organisasi yang berhubungan dengan olahraga serta menjadi seorang pesepakbola nasional yang handal. Namun setelah prokalamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan, ia menghilang dari Jakarta dan menetap di Solo. Tony Wen alias Boen Kim To adalah sosok yang berjasa bagi Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan. Pada masa itu, Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaan memiliki kondisi ekonomi yang buruk dan tidak memiliki kas negara yang cukup. Apalagi dengan adanya blokade oleh Belanda dari segala penjuru, pihak Indonesia semakin kesulitan melakukan perdagangan dengan negara lain untuk mengisi kas negara. Di sinilah Tony Wen berperan besar dalam membantu mengisi kas negara.
Dengan kurangnya kas negara untuk biaya operasional pemerintahan, maka Menteri Keuangan saat itu, A.A. Maramis menyarankan untuk menjual candu ke luar negeri. Dengan keahlian Tony Wen di Solo yang menyuplai logistik dan senjata untuk pejuang di sana, maka ia dipercaya untuk menjual candu-candu mentah dari pabrik candu di Salemba. Mukarto Notowidagdo ditunjuk sebagai koordinator tim sementara Tony Wen menjadi pelaksana. Ia kemuidan menghubungi temannya di Singapura yang memimiliki jaringan candu, dan operasi itu pun dilaksanakan. Dengan naik perahu, Tony Wen membawa setengah ton candu dari pantai Popoh di Kediri dan melintasi pantai selatan Jawa ke Selat Lombok untuk menhindari patroli Belanda dalam perjalanannya ke Singapura.
Operasi lanjutan ini kemudian dilaksanakan oleh Laksamana John Lie dengan menggunakan pesawat amphibi Catalina. Dengan pesawat ini, Indonesia berhasil melakukan pengiriman sebanyak dua kali dan membawa 4 ton candu ke Singapura. Namun operasi ini akhirnya diketahui oleh Belanda sehingga Tony Wen ditangkap oleh polisi Inggris di Singapura. Setelah bebas dari tahanan, Tony Wen akhirnya menjadi anggota PNI pada tahu 1952 dan menjadi anggota DPR pada tahun 1954 hingga 1956. Pria yang berjasa besar bagi Indonesia ini meninggal pada 30 Mei 1963 dan jasadnya dimakamkan di Menteng Pulo. Kini namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Pangkal Pinang. Sementara itu, tidak banyak dokumentasi mengenai foto beliau.
Yap Thiam Hien
Yap Thiam Hien kanan via youtube.com |
Yap Thiam Hien adalah sosok Tionghoa yang sangat berpengaruh di Indonesia. Di Indonesia, ia minoritas dalam tiga hal, yaitu karena ia beretnis Tionghoa, beragama Kristen, dan merupakan sosok yang jujur. Suatu hal yang pada era hidup membuatnya sering menerima diskriminasi. Namun hal tersebut tidak membuatnya berpaling dari Indonesia, sebaliknya Ia justru bangkit dan berjasa bagi Indonesia sebagai sosok yang berani membela hak asasi manusia. Seorang pahlawan tidak lahir dengan tiba-tiba, ada sebuah proses yang menempa dirinya sehingga mau menempuh jalan yang lebih beresiko sebagai seorang pengacara sekaligus pembela hak asasi manusia. Hal itu pula yang terjadi pada Yap Thiam Hien yang tumbuh besar dalam era penjajahan dan lingkungan perkebunan yang feodalistik. Sejak kecil ia sering menerima diskriminasi yang membuatnya tumbuh menjadi sosok yang membenci segala macam bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan.
Di usia 9 tahun ibu Yap meninggal dunia, namun kehadiran Sato Nakamura, seorang wanita Jepang yang merupakan simpanan kakeknya memberikan perhatian dan rasa etis yang kuat pada dirinya. Hal ini juga yang berkontribusi akan terbentuknya jiwa keadilan yang kuat pada dirinya. Ia kemudian mengenyam sekolah hukum dan menjadi pengacara untuk membela hak asasi manusia. Ia pula salah satu pendiri YLBHI atau Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Pada masa pemerintahan Bung Karno, Yap menulis artikel untuk menghimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik. Dengan tidak mengubah namanya sampai akhir hayatnya, ia membuktikan bahwa nasionalisme tidak dapat dikaitkan dengan nama yang disandang seseorang. Hal ini tentu bertentangan dengan himbauan pada era Orde Baru yang mengharuskan etnis Tionghoa untuk mengganti nama Tionghoa mereka.
Yap yang merupakan sosok antikomunis dan antikorupsi bahkan sempat ditahan pada tahun 1968 karena kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintahan. Pada peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) tahun 1974, Yap juga tampil membela aktivis mahasiswa yang membuatnya ditahan tanpa proses peradilan karena dianggap menghasut mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran. Sosok pria bertubuh kecil ini ternyata memiliki nyali besar untuk membela orang-orang yang tertindas. Segala macam kasus yang bersangkutan dengan HAM, prinsip negara hukum dan keadilan akan ditanganinya. Ia tidak pernah memilih-milih dalam membela seseorang, kaum terpinggirkan dan minoritas akan ia bela mati-matian meskipun lawannya adalah orang berkuasa yang bisa menyulitkan hidupnya sendiri. Rumahnya bahkan pernah ditembaki gara-gara aktivitasnya ini.
Dalam suatu kasus, ia bahkan pernah membela para pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh pemilik gedung. Saking geramnya, ia bahkan menyerang pengacara si pemilik gedung dengan berkata, “Bagaimana bisa anda membantu orang kaya menentang orang miskin?” Sosok yang hingga kini belum tergantikan ini merupakan sumber inspirasi dan sosok teladan bagi orang lain. Ia meniggal pada 25 April 1989 karena pendarahan usus. Dengan diiringi ribuan pelayat, jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakart. Kini nama Yap Thiam Hien diabadikan sebagai nama penghargaan pembela hak asasi manusia.
John Lie Tjeng Tjoan
John Lie Tjeng Tjoan via baltyra.com |
John Lie Tjeng Tjoan kecil adalah sosok yang begitu mencintai dunia maritim. Jadi, meskipun berhasil lulus dari sekolah berbahasa Belanda, ia justru meninggalkan Manado, tempat ia dilahirkan untuk menjadi seorang pelaut dan mengikuti pelatihan militer. Ketika Perang Dunia II berakhir dan Indonesia telah mendapatkan kemerdekaannya, banyak para pelaut yang ingin kembali ke negaranya dan ingin berbakti pada negara dengan memberikan pengetahuan dan pengalaman kelautan mereka. John Lie bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI. Selama beberapa bulan bertugas di Cilacap, ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang. Atas jasanya ini, ia diangkat menjadi Mayor dan diminta memimpin menembus blokade Belanda untuk menyelundupkan senjata, bahan pangan, dan lainnya.
Ketika baru merdeka, kas negara sangat tipis sehingga diperlukan perdagangan ke luar negeri untuk mengumpulkan dana kas negara. Untuk itu, ia rutin menembus blokade untuk membarter karet atau hasil bumi lain ke Singapura untuk barter dengan senjata. Tentu saja ini bukan perjuangan gampang karena ia harus menghindari patroli Belanda. Untuk operasi ini, ia menggunakan kapal kecil cepat yang bernama the Outlaw. Memang hal ini membuat perjalanannya cepat, tapi juga beresiko mengingat tingginya ombak di lautan. Ia pernah ditangkap perwira Inggris saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, tapi dibebaskan saat di peradilan Singapura karena tidak terbukti melanggar hukum. Saat membawa senjata dari Johor Ke Sumatera, ia juga pernah dihadang pesawat terbang patroli Belanda. Untungnya tidak terjadi insiden karena pesawat tersebut tidak menembaki mereka meskipun sempat menodongkan senjatanya ke arah mereka.
Pelayaran penuh resiko ini selalu disiarkan oleh stasiun radio BBC dan kapalnya dijuluki sebagai The Black Speed Boat. Pelayaran-pelayaran inilah yang membuatnya melegenda hingga wartawan majalah Life mengabadikan kisahnya dan menjulukinya sebagai The Great Smuggler with Bible. Selain aktif dalam usaha mengumpulkan dana untuk RI, John Lie juga berjasa pada puncak krisis eksistensi Republik. Ia berjasa dalam operasi-operasi menumpas kelompok separatis Republik Maluku Selatan, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, dan Perjuangan Rakyat Semesta. Karena kesibukannya dalam perjuangan untuk Indonesia, ia akhirnya baru menikah di usia 45 tahun. Tahun 1967 ia pensiun dari tugasnya dan hari-harinya ia isi dengan dengan berbagai kegiatan sosial. Ia rajin membagikan nasi bungkus kepada fakir miskin dan mengangkat anak karena ia tidak memiliki anak sendiri. Pada 27 Agustus 1988, John Lie Tjeng Tjoan tutup usia. Banyak orang datang melayat pejuang ini mulai dari anak gelandangan hingga Presiden Soeharto.
Lim Bak Meng
Lim Bak Meng via id.wikipedia.org |
Nama Lim Bak Meng sebenarnya cukup terkenal pada tahun 40an hingga awal 70an. Pasalnya, pria yang lahir di Kalimantan ini begitu aktif dalam usaha membela negara Indonesia. Pada masa sebelum era kemerdekaan, Lim Bak Meng aktif dalam partai Persatuan Indonesia Raya yang memperjuangkan kemerdekaan. Ia bahkan juga rajin menyebarkan bahasa Indonesia ke sekolah-sekolah Tionghoa di daerah Sungai Pinyuh, Ketapang, Sambas, Mempawah, Sekadau, dan lainnya. Di era revolusi kemerdekaan, ia semakin aktif dalam kegiatan politiknya. Bersama Dr. Soedarso, Thomas Blaise, Hasan Fatah, Ismail hasan dan tokoh lainnya, ia menderikan Badan Pemberontakan Indonesia Kalimantan Barat. Ia bahkan membuka sebuah usaha dengan tujuan untuk membiayai kegiatan dan kongres Partai Dayak. Ia adalah sosok pejuang yang menjunjung pluralisme dan NKRI. Saat penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia di Kalimantan Barat, ia bersama Oevaang Oeray, Korak Guru Saleh, dan M Rifai menurunkan bendera Belanda dan menggantinya dengan Merah Putih.
Salah satu kontribusinya dalam pembebasan irian Barat adalah dengan menjadi anggota Dewan Pleno Front Nasional Pembebasan Irian Barat. Ia juga menjadi sosok pendiri klinik Kharitas Bhakti di Pontianak. Pada tahun 1960-an, Indonesia dengan berani melakukan operasi Ganyang Malaysia. Saat itulah ia menjalani tugas yang sangat penting sekaligus berbahaya. Ia diutus ke Sarawak untuk menjajaki kekuatan Belanda dengan menjadi spionase yang tentu saja bukan pekerjaan mudah. Demi tugas dan kecintaannya pada negara, ia tidak pernah ada di rumah dan meninggalkan keluarganya tanpa ada kabar. Ia hanya pulang sekali namun kemudian menghilang tanpa kabar hingga istrinya harus meminta ubi dan pisang ke tetangga untuk makan sehari-hari. Saat itulah semua orang termasuk keluarganya memahami bahwa cinta Lim Bak Meng kepada negaranya sangatlah besar.
Sayangnya, kecintaan dan pengorbanan Lim Bak Meng ini tidak benar-benar dihargai oleh negara. Di masa tua, pria tersebut tidak pernah menerima penghargaan, materi atau piagam apapun. Saat keluarga ingin mengambil uang pensiun pun ditolak meskipun keluarganya masih memegang SK. Semua bukti dokumen yang dimiliki untuk mengurus pensiunan almarhum justru ditolak dan tidak pernah diakui oleh pemerintahan saat itu. Namun untungnya, kini berkat Badan Pembudayaan Kejuangan Angkatan 45, keluarga Lim sudah menerima piagam dan medali sebagai penghargaan atas perjuangannya.
Susi Susanti
Susi Susanti via news.okezone.com |
Di dunia olahraga, masih ada nama lagi yang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional, yaitu Susi Susanti. Dialah legenda pebulu tangkis Indonesia yang berhasil menggebrak kompetisi tingkat dunia dan bahkan dalam kelas tunggal putri, belum ada sosok yang menggantikannya. Rentetan prestasi yang diraihnya membuat namanya selalu dikenang di olahraga bulu tangkis Indonesia. Mulai dari juara Dutch Open, juara Swedish Open, juara Korea Open, 2 kali juara China Taipei Open, 2 kali juara Denmark Open, 4 kali juara Thailand Open, 3 kali juara Japan Open, 4 kali juara Malaysia Open, 6 kali juara Indonesia Open, Juara Piala Sudirman, 2 kali juara Piala Uber, 4 kali juara All England, juara dunia World Championship, medali perunggu Olimpiade Atlanta, medali emas Olimpiade Barcelona, Herbert Scheele trophy, hingga Hall of Fame dari International Badmintion Federation. Ia juga mendapatkan penghargaan Tanda Kehormatan Republik Indonesia Bintang Jasa Utama.
Deretan penghargaan itu tidak hadir begitu saja, tapi buah dari usaha kerasnya dengan rajin berlatih. Jam 7 pagi, Susi dan rekan-rekannya sudah bersiap di lapangan kemudian berlatih hingga pukul 11 siang. Selanjutnya latihan sore dimulai dari jam 3 dan berakhir pukul 7 malam. Semua latihan ini dilakukan secara rutin dari Senin sampai Sabtu. Pola makan dijaga dan bergizi tinggi, tidur juga diatur sehingga tidak bisa ngobrol dengan teman atau nonton TV sampai larut malam. Baginya, disiplin adalah kekuatan, sehingga tidak ada waktu sedikitpun untuk bermain-main jika ingin menjadi seorang juara. Meski begitu, semua dilakukannya dengan semangat dan tanpa mengeluh meskipun remaja lain seusianya pada umumnya akan sibuk bermain-main.
Masa kemenangannya pada Olimpiade 1992 Barcelona adalah kemenangan paling menggetarkan bagi Susi Susanti sekaligus seluruh bangsa Indonesia karena ini akan menjadi kemenangan yang paling prestisus. Final bulutangkis ini adalah kejuaraan antar bangsa yang terbesar dan ia harus berhadapan dengan rival terkuatnya dari Korea, Bang Soo-Hyun. Kedua pemain berjuang keras dan dramatis hingga akhirnya Susi berhasil merebut medali emas dan merupakan medali tertinggi olahraga di dunia. Indonesia menang. Susi akhirnya naik ke atas panggung kehormatan Olimpiade, bendera Merah Putih dikibarkan dengan gagah, dan lagu “Indonesia Raya” dinyanyikan. Rasa kebangsaan seluruh masyarakat Indonesia tersentuh karena kita seolah diingatkan kembali bahwa kita adalah bangsa yang besar dan bangsa para juara. Sebuah kebanggaan besar yang diterima sebagai bangsa Indonesia yang berhasil membuktikan diri pada seluruh dunia.
Nama-nama tersebut hanyalah sebagian kecil orang Tionghoa yang berjasa untuk Indonesia. Kita perlu tahu bahwa seharusnya memang sudah tidak ada lagi alasan untuk mendiskreditkan jasa orang lain entah dari etnis apakah ia atau mendiskriminasi orang dari suku atau ras yang berbeda. Kita juga perlu mengingat bahwa Indonesia juga negara yang majemuk yang terdiri dari berbagai suku, bangsa, ras, budaya dan agama. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar